Senin, 18 Maret 2013

Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi by Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.


BAB I
Pendahuluan
·         Identitas Buku
Judul Buku                 : Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca            Reformasi
                     Pengarang                :Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
   Penerbit   :Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah                                                                                                                                                                                                                                                                                          Konstitusi RI
Tahun Terbit                : 2006
Jumlah Halaman          :377 halaman

·         Latar belakang
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan salah satu tuntutan gerakan reformasi pada tahun 1998.
Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antar cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang.
 Selain itu, UUD 1945 tidak cukup memuat landasan bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan KKN. Tuntutan tersebut kemudian diwujudkan dalam empat kali perubahan UUD 1945.
Buku ini menekankan pada pendeskripsian perkembangan lembaga negara pasca perubahan UUD 1945 sekaligus rekomendasi mengenai pentingnya konsolidasi terhadap lembaga-lembaga negara tersebut.

·         Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Organisasi negara dan lembaga-lembaga negara?
2.      Lembaga tinggi negara?
3.      Lembaga konstitusional lainnya?
4.      Lembaga negara lainnya?
5.      Lembaga-lembaga daerah?
6.      Reformasi dan konsolidasi?

·         Tujuan
Sejalan dengan rumusan masalah diatas laporan buku ini disusun untuk mengetahui:
1.      Organisasi negara dan lembaga-lembaga negara
2.      Lembaga tinggi negara
3.      Lembaga konstitusional lainnya
4.      Lembaga negara lainnya
5.      Lembaga-lembaga daerah
6.      Reformasi dan konsolidasi

·         Manfaat
Pemahaman lama mengenai lembaga negara nampaknya sudah tidak dapat dipertahankan lagi di era reformasi sekarang ini. Hal ini mengingat munculnya berbagai lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan kita pasca perubahan UUD 1945. Menyahuti perkembangan zaman ini, pakar hukum tata negara yang juga ketua Mahkamah Konstitusi Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menawarkan gagasan orisinil-visioner mengenai lembaga negara yang diajarkan di sekolah dan kampus selama berpuluh-puluh tahun.
Buku ini menggagas pengertian baru mengenai lembaga negara dan menyusun kategorisasi lembaga-lembaga negara untuk menentukan kedudukan dan meletakkan masing-masing lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan kita sesuai dengan perkembangan dan kecendrungan zaman.


BAB II
Analisis Permasalahan
·         Ringkasan Materi
Organisasi Negara dan Lembaga-Lembaga Negara
            Dalam perkembangan sejarah,teori   dan pemikiran tentang pengorganisasian kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat.variasi struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraaan itu berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya, baik di tingkat pusat atau nasional maupun di tingkat daerah atau lokal.Sebelum abad ke-19,sebagai reaksi terhadap kuatnya cengkraman kekuasaan para raja di Eropa, timbul revolusi diberbagai negara yang menuntut kebebasan lebih bebas bagi rakyat dalam menghadapi penguasa negara. Ketika itu,berkembang luas pengertian bahwa “the least government is the best government?” menurut doktrin nachwachtersstaat.
Enam tipe organisasi  oleh Gerry Stoker  ,yaitu:
1.      Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government’s arm’s length agency;
2.      Tipe kedua, organ yang merupakan local authority implementation agency;
3.      Tipe ketiga, organ atau institusi sebagai public/private partnership  organitation;
4.      Tipe keempat,organ sebagai user-organitation;
5.      Tipe kelima,organ merupakan intergovernmental forum;
6.      Tipe keenam, organ yang merupakan Joint Boards.
Menurut Gerry Stoker,
both central and local government have encouraged experimentation with non-elected forms of government as a way encouraging the greater involvement of major private corporate sector companies, banks and building societies in dealing with problems of urban and economic decline.”
            Di tingkat pusat atau nasional, di berbagai negara di dunia dewasa ini tumbuh cukup banyak variasi bentuk-bentuk organ atau kelembagaan negara atau pemerintahan yang deconcentrated dan decentralized. R. Rhodes, dalam bukunya, menyebut hal ini intermediate institusions.Menurut R.Rhodes, lembaga-lembaga seperti ini mempunyai tiga peran utama.
1.      Pertama, lembaga-lembaga tersebut mengelola tugas yang diberikan pemerintah pusat dengan mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan berbagai lembaga lain (coordinate the activities of the various other agencies). Misalnya , Regional Departement of the Environment Offices melaksanakan program housing investment dan mengkoordinasikan berbagai usaha real-estate diwilayahnya.
2.      Kedua, melakukan pemantauan (monitoring) dan memfasilitasi pelaksanaan berbagai kebijakan atau policies pemerintah pusat.
3.      Ketiga, mewakili kepentingan daerah dalam berhadapan dengan pusat.
Sebenarnya, secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa disebut Ornop atau Organisasi Non pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut Non-Government Organization atau Non-Government Organizations (NGO’s). Oleh sebab itu, lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif, yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.
Konsepsi tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa,wujud); (iii) acuan,ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola prilaku yang mapan yang terdiri atas interaksi sosial yang terstruktur.
Lembaga negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahaan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan U, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk didalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.
Karena warisan sistem lama, harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah kekuasaan legislatif disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif disebut sebagai lembaga pengadilan.
Karena itu, sebelum perubahan UUD 1945, biasa dikenal adanya istilah lembaga pemerintah, lembaga departemen, lembaga pemerintah non-departemen, lembaga negara, lembaga tinggi negara, dan lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata negara biasa dipakai pula istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas, yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Dalam ilmu hukum, subjek hukum (legal subject) adalah setiap pembawa atau penyandang hak dan kewajiban dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum. Pembawa hak dan kewajiban itu dapat merupakan orang yang biasa disebut juga natuurlijke persoon (menselijk persoon) atau bukan orang yang biasa disebut pula dengan rechtspersoon. Rechtspersoon itulah yang biasa dikenal sebagai badan hukum yang merupakan  pesona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai pesona (orang fiktif).
Mahkamah Agung Belanda dalam putusannya tanggal 16 Februari 1891 (W.6083) menyatakan bahwa penghinaan dalam hukum pidana tidak mungkin kecuali hanya terhadap manusia (natuurlijke persoon). Akan tetapi, menurut Paul Scholten, dalam bidang keperdataan, penghunaan dapat saja terjadi oleh dan terhadap badan hukum yang berakibat penghinaan itu, badan hukum yang bersangkutan dapat digugat per-data.
Di samping semua uraian tersebut di atas, yang juga penting dikemukakan ialah bahwa setiap badan hukum yang dapat dikatakan mampu bertanggung-jawab (rechtsbevoegheid) secara hukum, haruslah memiliki empat unsur pokok, yaitu:
1)      Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain;
2)      Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
3)      Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;
4)      Ada organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri.
Unsur kekayaan yang terpisah dan tersendiri dari pemilikan subyek hukum lain, merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu badan untuk disebut sebagai badan hukum (legal entity) yang berdiri sendiri. Unsur kekayaan yang tersendiri itu merupakan persyaratan penting bagi badan hukum yang bersangkutan (i) sebagai alat baginya untuk mengejar tujuan pendirian atau pembentukannya. Kekayaan tersendiri yang memiliki badan hukum itu ; (ii) dapat menjadi objek tuntutan dan sekaligus menjadi; (iii) objek jaminan bagi siapa saja atau pihak-pihak lain dalam mengadakan hubungan hukum dengan badan hukum yang bersangkutan.
Dengan adanya unsur keterpisahan harta ini, maka siapa saja yang menjadi pendiri dan pengurus badan hukum serta pihak-pihak lain yang berhubungan dengan badan hukum yang bersangkutan, haruslah benar-benar memisahkan antara unsur pribadi beserta hak milik pribadi, dengan institusi dan harta kekayaan badan hukum yang bersangkutan. Karena itu, perbuatan hukum  pribadi orang yang menjadi anggota atau pengurus  badan hukum itu dengan pihak ketiga tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan badan hukum yang sudah terpisah tersebut. Menurut Arifin Soeria Atmadja, kekayaan badan hukum yang terpisah itu, membawa akibat antara lain:
a.       Kreditur pribadi para anggota badan hukum yang bersangkutan tidak mempunyai hak untuk menuntut harta kekayaan badan hukum tersebut;
b.      Para anggota pribadi tidak dapat menagih piutang badan hukum terhadap pihak ketiga;
c.       Kompensasi antara hutang pribadi dan hutang badan hukum tidak dimungkinkan;
d.      Hubungan hukum, baik persetujuan maupun proses antara anggota dan badan hukum,dilakukan seperti halnya antara badan hukum dengan pihak ketiga;
e.       Pada kepalitan, hanya para kreditur badan hukum dapat menuntut harta kekayaan yang terpisah.
Organisasi yang baik dan teratur biasanya selalu menjadikan anggaran dasar sebagai konstitusi, anggaran rumah tangga, dan peraturan-peraturan keorganisasian lainnya serta kode etika yang berlaku secara internal sebagai pegangan atau rujukan dalam setiap kegiatan keorganisasian. Jika timbul permasalahan, perbedaan pendapat, atau perselisihan antar pengurus atau anggota, di dalam berbagai peraturan tersebut sudah diatur  adanya mekanisme penyelesaian yang dapat dijadikan rujukan. Dengan demikian, perbedaan pendapat tidak perlu  menyebabkan timbulnya perpecahan organisasi yang tidak dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat sesuai dengan perangkat norma hukum dan etika (rule of law ataupun rule of ethics) yang berlaku.  
      Dalam Kitab Undang-Undang Perdata, kriteria suatu lembaga atau organisasi dapat dikatakan sebagai badan hukum atau bukan, tidaklah dirinci diatur. Titel XIX Pasal 1653  Burgerlijk Wetboek hanya menyebut van Zedelijke lichaam atau rechtspersoon yang dalam bahasa indonesia biasa diterjemahkan dengan perkumpulan. Menurut Arifin Soeria Atmaja, terjemahan zedelijke lichaam dengan perkumpulan itu adalah keliru, karena menurut Fockema Andreas, zedelijke lichaam itu identik dengan rechtspersoon.
Dalam pasal 1653 Burgerlijk Wetboek dinyatakan, “ Behalve de eigenlijke maatschap erkent de wet ook vereenigingen van personen als zedelijke lichamen het zij dezelve op openbaar gezag als zoodaniniginge-steld of ekend, het zij als geoorlofd zijn toe gelaten, of aleen tot een bepaalde oog merk, niet strijdig met de wetten of met de goede zeden, zijn zamengesteld”. Secara bebas, ketentuan pasal 1653 B.W. tersebut dapat diterjemahkan, “selain perseroan sejati, oleh undang-undang dikenal pula perkumpulan-perkumpulan orang-orang sebagai badan hukum, baik karena didirikan atau diakui oleh pemerintah sebagai pemegang otoritas publik maupun karena telah diterima adanya atau karena telah berdiri untuk maksud-maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan yang  baik”.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas,  maka dari segi pembentukannya, oleh Arifin P. Soeria Atmadja, dikemukakan adanya tiga jenis badan hukum, yaitu:
1.      Badan hukum yang diadakan atau didirikan oleh pemerintah;
2.      Badan hukum yang diakui oleh pemerintah; dan
3.      Badan hukum dengan konstruksi perdata.

Lembaga Tinggi Negara
1)      Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas 3 ayat;
2)      Presiden yang diatur keberadaannya dalam Bab III UUD 1945, dimulai dari ayat 4 (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berisi 17 Pasal;
3)      Wakil Presiden yang keberadaannya juga diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”;
4)      Menteri dan Kementerian Negara yang diatur tersendiri dalam Bab V 1945, yaitu pada pasal 17 ayat (1), (2), dan (3);
5)      Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumvirat yang dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan wakil presiden;
6)      Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7)      Menteri Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam Negeri ditentukan sebagai menteri triumvirat menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan konstitusional diantara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain atau lembaga negara lain;
8)      Dewan Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang berbunyi, “Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”;
9)      Duta seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2);
10)  Konsul seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);
11)  Pemerintah Daerah Provinsi  sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
12)  Gebenur Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13)  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
14)  Pemerintah Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5),(6) dan ayat (7) UUD 1945;
15)  Bupati Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yan g diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
16)  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
17)  Pemerintah Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
18)  Walikota Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
19)  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD 1945;
20)  Satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nangro Aceh Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur oleh undang-undang. Oleh karena itu pemerintahan daerah yang demikian ini perlu disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui dan dihormati oleh negara.
21)  Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19 sampai dengan Pasal 22B;
22)  Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C dan Pasal 22D;
23)  Komisi Penyelenggaraan Pelimu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum” bukanlah nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24)  Bank Sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu “Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang-undang”. Seperti halnya dengan Komisi Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud. Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi oleh sejarah dimasa lalu.
25)  Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul “Badan Pemeriksa Keuangan”, dan terdiri atas 3 Pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat), Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26)  Mahkamah Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
27)  Mahkamah Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945;
28)  Komisi Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ  terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29)  Tentara Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30)  Angkatan Darat (TNI AD) diatur dalam pasal 10 UUD 1945;
31)  Angkatan Laut (TNI AL) diatur dalam pasal 10 UUD 1945;
32)  Angkatan Udara (TNI AU) diatur dalam pasal 10 UUD 1945;
33)  Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD 1945;
34)  Badan-badan lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “ Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.

Namun, untuk memudahkan pengertian, organ-organ konstruksi pada lapisan pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara, yaitu:
1.      Presiden dan Wakil Presiden;
2.      Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3.      Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4.      Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
5.      Mahkamah Konstitusi (MK);
6.      Mahkamah Agung (MA);
7.      Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lembaga-lembaga negara sebagai organ konstruksi lapisan kedua itu adalah:
1.      Menteri Negara;
2.      Tentara Nasional Negara;
3.      Kepolisian Negara;
4.      Komisi Yudisial;
5.      Komisi Pemilihan Umum;
6.      Bank Sentral.
Lembaga-lembaga daerah adalah:
1.      Pemerintah Daerah Provinsi;
2.      Gubernur;
3.      DPRD Provinsi;
4.      Pemerintahan Daerah Kabupaten;
5.      Bupati;
6.      DPRD Kabupaten;
7.      Pemerintahan Daerah Kota;
8.      Walikota;
9.      DPRD Kota.

Lembaga Konstitusional Lainnya
            Sebelum Perubahan UUD 1945 , Bab V tentang Kementerian Negara berisi Pasal 17 yang hanya terdiri atas tiga ayat, yaitu bahwa :
1.      “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”;
2.      “Menteri-menteri diangkat dan diperhentikan oleh Presiden”, dan
3.       “ Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintah”.
      Sesudah perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999 dan perubahan ketiga pada tahun 200, isi ketentuan pasal 17 ini bertambah pada menjadi empat ayat, yaitu bahwa:
1.      “Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”,
2.      “Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”,
3.      “Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”,dan
4.      “Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang”.

Dalam Pasal 38 UU No. 22 tahun 2004, ditentukan :
1)      Komisi Yudisial bertanggung jawab kepada publik melaui Dewan Perwakilan Rakyat;
2)      Pertanggungjawaban kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara:
a.       Menerbitkan laporan tahunan; dan
b.      Membuka akses informasi secara lengkap dan akurat.
3)      Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf  a setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:
a.       Laporan penggunaan anggaran;
b.      Data yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan
c.       Data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
4)      Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula pada presiden.
5)      Keuangan Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan UU.
Menurut ketentuan Bab III Pasal 13 UU No.22 tahun 2004  tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a.       Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b.      Menegakkan kehormatan dan keluruhan martabat serta menjaga prilaku hakim.
Selanjutnya , ditentukan oleh Pasal 14 UU No.22 Tahun 2004 tersebut, dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai tugas:
1)      Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung;
2)      Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3)      Menetapkan calon Hakim Agung; dan
4)      Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
Sesuai ketentuan Pasal 2 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI tersebu, Tentara Nasional Indonesia adalah:
a)      Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia;
b)      Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;
c)      Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara diatas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama;
d)     Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Menurut ketentuan undang-undang yang baru ini, pengeban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang sama sekali terpisah dari fungsi Tentara Nasional Indoonesia (TNI). Polisi sebagai pengemban fungsi kepolisian dibantu oleh:  
a.       Kepolisian khusus,
b.      Penyidik pegawai negeri sipil, dan/atau
c.       Bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
 Pengemban fungsi kepolisian dimaksud melaksanakan fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.
Dalam rangka menyelenggarakan tugas dimaksud, Kepolisian Negara Rebuklik Indonesia secara umum dinyatakan berwenang:
a.       Menerima laporan dan/atau pengaduan;
b.      Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum;
c.       Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d.      Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa;
e.       Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f.       Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan;
g.      Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h.      Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i.        Mencari keterangan dan barang bukti;
j.        Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k.      Mengeluarkan surat ijin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat;
l.        Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m.    Menerima dan menyimpan barang temuan untuk mentara waktu.
Menurut Pasal 15 undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
1.      Memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai tenjadinya tindak pidana korupsi;
2.      Memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
3.      Menyusun laporan tahunan dan menyampaikannnya kepada Presiden Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
4.      Menegakkan sumpah jabatan;
5.      Menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5.
Mengenai syarat-syarat untuk dapat menjadi anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota, seperti diatur dalam Pasal 18, adalah:
1.      Warga negara Republik Indonesia;
2.      Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
3.      Mempunyai integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;
4.      Mempunyai komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya demokrasi dan keadilan;
5.      Memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan proses pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki kemampuan kepemimpinan;
6.      Berhak memilih dan dipilih;
7.      Berdomisili dan wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP;
8.      Sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari rumah sakit;
9.      Tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik;
10.  Tidak pernah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
11.  Tidak sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional dalam jabatan negeri;
12.  Bersedia bekerja sepenuh waktu.
Dalam Pasal 25 UU pemilu ditentukan bahwa tugas dan wewenang KPU adalah:
1.      Merencanakan penyelenggaraan Pemilihan Umum;
2.      Menetapkan organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
3.      Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua taha[pan pelaksanaan Pemilu;
4.      Menetapkan Peserta Pemilu;
5.      Menetapkan daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota;
6.      Menetapkan waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
7.      Menetapkan hasil Pemilu dan mengumumkan calonterpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/ kota;
8.      Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu;
9.      Melaksanaan tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Menurut ketentuan Pasal 26, Komisi Pemilihan Umum berkewajiban:
1.         Memperlakukan peserta pemilu secara adil dan setara guna menyukseskan Pemilu;
2.      Menetapkan standardisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu;
3.      Memelihara arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang investaris KPU berdasarkan peraturan perundang-undangan;
4.      Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
5.      Melaporkan penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden selambat-lambatnya tujuh hari sesudah pengucapan sumpah/ janji anggota DPR dan DPD;
6.      Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
7.      Melaksanakan kewajiban lain yang  diatur undang-undang.

Lembaga Negara Lainnya
            Di samping lembaga-lembaga negara seperti telah diuraikan tersebut di atas, ada pula beberapa lembaga negara lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Beberapa di antaranya adalah:
1.      Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
2.      Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
3.      Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR),
4.      Komisi perlindungan Anak Indonesia ,
5.      Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP),
6.      Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK),
7.      Komisi Banding Paten,
8.      Komisi Banding Merek,
9.      Komisi perlindungan Anak Indonesia,
10.  Komisi Nasional Anti Kekerasn terhadap Perempuan,
11.  Dewan Pertahanan Nasional,
12.  BP Migas dan BHP Migas,
13.  Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), dan sebagainya.

Lembaga-Lembaga Daerah
            Di samping lembaga-lembaga tinggi negara dan lembaga-lembaga negara lainnyaa di tingkat pusat, ada pula beberapa lembaga daerah yang dapat pula disebut sebagai lembaga negara dalam arti luas. Lembaga-lembaga seperti Gubernur dan DPRD bukanlah lembaga masyarakat, tetapi merupakan lembaga negara. Bahkan, keberadaannya ditentukan dengan tegas dalam UUD 1945. Oleh karena itu, tidak dapat tidak, Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu termasuk ke dalam pengertian lembaga negara dalam arti luas. Namun, karena tempat kedudukannya adalah di daerah, dan merupakan bagian dari sistem pemerintahan daerah, maka lembaga-lembaga negara seperti Gubernur dab Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu lebih tepat disebut sebagai lembaga daerah.
            Keberadaan lembaga-lembaga daerah tersebut diatur dengan beberapa kemungkinan bentuk peraturan, yaitu:
1.      Lembaga Daerah  yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Undang-Undang Dasar.
2.      Lembaga Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Undang-Undang dasar.
3.      Lembaga Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam peraturan perundang-undangan tingkat pusat lainnya.
4.      Lembaga Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Daerah Provinsi.
5.      Lembaga Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Gubernur.
6.      Lembaga Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/  Kota.
7.      Lembaga Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Bupati/ Walikota.
Mengenai tugas dan wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah, ditentukan oleh Pasal 25 UU No. 32 Tahun 2004 sebagai berikut.
a.       Memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD;
b.      Mengajukan rancangan Perda;
c.       Menetapkan Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d.      Menyusun dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan ditetapkan bersama;
e.       Mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah;
f.       Mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjukan kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g.      Melaksanakan tugas dan wewenang lain sesuia dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan tugas wakil kepala daerah adalah.
a.       Membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
b.      Membantu kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah, menindaklanjuti laporan dan/ atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan, melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c.       Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil kepala daerah provinsi;
d.      Memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan dan/ atau desa bagi wakil kepala daerah kebupaten/ kota;
e.       Memberikan saran dan pertimbang kepada kepala daerah dalam penyelenggaran kegiatan pemerintah daerah;
f.       Melaksanakan tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya tyang diberikan oleh kepala daerah; dan
g.      Melakukan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.

Reformasi dan Konsolidasi
            Sebelum tahun 1998, secara simbolis ada dua hal yang tidak terbayangkan untuk dapat disentuh oleh ide perubahan, yaitu:
a.       Perubahan dalam jabatan Presiden Soeharto, dan
b.      Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang cenderung dikeramatkan.
Kedua hal itu, selama lebih dari 30 tahun terus bertahan di puncak piramid kekuasaan, sehingga tanpa disadari telah mengalami proses sekralisasi alamiah, dan menyebabkan kedua menjadi simbol kesaktian dalam politik kekuasaan di Indonesia. Namun pada bulan Mei 1998, puncak kesaktian kekuasaan Presiden Soeharto tumbang, dan dilanjutkan dengan diterima dan disahkannya Perubahan Pertama UUD 1945 pada tanggal 18 Oktober 1999 yang menandai runtuhnya kedua simbol kesaktian kekuasaan Orde Baru, dan sekaligus beralihnya zaman menuju era baru, era reformasi, demokrasi, dan konstitusi. Reformasi menuju demokrasi konstitusional (constitutional democracy) dan sekaligus negara hukum yang demokratis berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Oleh karena itu, kata kunci (key word) yang dapat dimajukan dalam hal ini adalah konsolidasi dan penataan kelembagaan secatra menyeluruh. Bandngkanlah peta kondisi kelembagaan negara dan kelembagaan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah; baik yang lama maupun yang baru; baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan; pada aspek perencanaan, pelaksanaan, ataupun pengawasan, pemantauan dan evaluasi. Periksalah kondisi internalnya masing-masing baik yang menyangkut sumber dayan manusia (personil), kondisi keuangan dan dan aset atau kekayaan negara yang dikelola, sistem aturan yang berlaku di dalamnya serta perangkat-perangkat sistem administrasi yang dijalankan, lalu dibandingkan tugas pokok dan fungsinya dengan hasil kerja dan kinerjanya dalam kenyataan, serta perhitungkan nilai kegunaannya untuk kepentingan bangsa dan negara membandingkannya dengan nilai dari segala perangkat yang dimilikinya itu seperti jumlah personil, nilai keuangan dan kekayaan negara yang dikelola, dan sebagainya. Lalu bandingkan pula antara satu lembaga dengan lembaga lain yang sejenis yang boleh jadi juga didesain untuk maksud yang sama atau mirip dengan lembaga yang bersangkutan.

·         Pembahasan
Terdapat tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif. Ketiga fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika demikian, maka kebebasan akan terancam.
Ke-34 organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.
Sehubungan dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya , ke-34 lembaga itu dapat dibedakan  ke dalam tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara. Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang dapat diketegorikan sebagai organ  utama atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).
Keseluruhan lembaga-lembaga negara tersebut merupakan bagian-bagian dari negara sebagai suatu organisasi. Konsekuensinya, masing-masing menjalanan fungsi tertentu dan saling berhubungan sehingga memerlukan pengaturan dan pemahaman yang tepat untuk benar-benar berjalan sebagai suatu sistem.   


BAB III
Kesimpulan

            Hal ini sangat penting mengingat dengan munculnya berbagai lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan kita pasca perubahan UUD 1945, maka pengertian yang selama ini kita kenal dan kita anut harus direvisi. Pengertian baru dan kategorisasi lembaga negara pasca perubahan UUD 1945 ini merupakan hal baru sama sekali yang mengubah pandangan dan pemikiran yang selamaini dianut selama berpuluh-puluh tahun.
 Demikian pula gagasan baru ini berbeda sama sekali dengan hukum tata negara yang selama ini diajarkan di sekolah dan kampus dan dianut kalangan akademisi dan pakar hukum tata negara. Karena itu boleh jadi akan muncul banyak tanggapan, baik kritik maupun dukungan, juga berkembang kontroversi dan polemik di ranah publik, khususnya dalam bidang hukum tata negara.
            Namun hal ini saya anggap sangat penting untuk merespon perkembangan ketatanegaraan kita yang tergolong radikal ini. Harapan kita adalah dapat bergulir wacana baru dalam hukum tata negara sesuai kondisi objektif yang ada sekaligus menjadi sumbangsih untuk mendinamisasi perkembangan hukum tata negara yang selama era sebelumnya tidak berkembang. Dengan demikian diharapkan hukum tata negara dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ketatanegaraan yang ada sehingga hukum tata negara tidak nampak ketinggalan zaman.
                         
 
Daftar Pustaka
Asshiddiqie, Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI , Jakarta, 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

dikoment yo,,ok2