BAB
I
Pendahuluan
·
Identitas
Buku
Judul
Buku : Perkembangan dan
Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
Pengarang :Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie,
S.H.
Penerbit
:Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI
Tahun
Terbit : 2006
Jumlah
Halaman :377 halaman
·
Latar
belakang
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD 1945) sejak tahun 1999 sampai dengan 2002 merupakan salah satu tuntutan
gerakan reformasi pada tahun 1998.
Tuntutan perubahan UUD 1945 yang digulirkan tersebut didasarkan
pandangan bahwa UUD 1945 tidak cukup memuat sistem checks and balances antar
cabang-cabang pemerintahan (lembaga negara) untuk menghindari
penyalahgunaan kekuasaan atau suatu tindak melampaui wewenang.
Selain itu,
UUD 1945 tidak cukup memuat landasan
bagi kehidupan demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan terhadap hak
asasi manusia. Aturan UUD 1945 juga banyak yang menimbulkan multitafsir dan
membuka peluang bagi penyelenggaraan yang otoriter, sentralistik, tertutup, dan
KKN.
Tuntutan
tersebut kemudian diwujudkan dalam empat kali perubahan UUD 1945.
Buku
ini menekankan pada pendeskripsian perkembangan lembaga negara pasca perubahan
UUD 1945 sekaligus rekomendasi mengenai pentingnya konsolidasi terhadap
lembaga-lembaga negara tersebut.
·
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Organisasi
negara dan lembaga-lembaga negara?
2. Lembaga
tinggi negara?
3. Lembaga
konstitusional lainnya?
4. Lembaga
negara lainnya?
5. Lembaga-lembaga
daerah?
6. Reformasi
dan konsolidasi?
·
Tujuan
Sejalan
dengan rumusan masalah diatas laporan buku ini disusun untuk mengetahui:
1. Organisasi
negara dan lembaga-lembaga negara
2. Lembaga
tinggi negara
3. Lembaga
konstitusional lainnya
4. Lembaga
negara lainnya
5. Lembaga-lembaga
daerah
6. Reformasi
dan konsolidasi
·
Manfaat
Pemahaman
lama mengenai lembaga negara nampaknya sudah tidak dapat dipertahankan lagi di
era reformasi sekarang ini. Hal ini mengingat munculnya berbagai lembaga negara
baru dalam sistem ketatanegaraan kita pasca perubahan UUD 1945. Menyahuti
perkembangan zaman ini, pakar hukum tata negara yang juga ketua Mahkamah
Konstitusi Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. menawarkan gagasan orisinil-visioner mengenai lembaga
negara yang diajarkan di sekolah dan kampus selama berpuluh-puluh tahun.
Buku
ini menggagas pengertian baru mengenai lembaga negara dan menyusun kategorisasi
lembaga-lembaga negara untuk menentukan kedudukan dan meletakkan masing-masing
lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan kita sesuai dengan perkembangan dan
kecendrungan zaman.
BAB
II
Analisis
Permasalahan
·
Ringkasan
Materi
Organisasi
Negara dan Lembaga-Lembaga Negara
Dalam perkembangan sejarah,teori dan pemikiran tentang pengorganisasian
kekuasaan dan tentang organisasi negara berkembang sangat pesat.variasi
struktur dan fungsi organisasi dan institusi-institusi kenegaraaan itu
berkembang dalam banyak ragam dan bentuknya, baik di tingkat pusat atau
nasional maupun di tingkat daerah atau lokal.Sebelum abad ke-19,sebagai reaksi
terhadap kuatnya cengkraman kekuasaan para raja di Eropa, timbul revolusi
diberbagai negara yang menuntut kebebasan lebih bebas bagi rakyat dalam
menghadapi penguasa negara. Ketika itu,berkembang luas pengertian bahwa “the least government is the best
government?” menurut doktrin nachwachtersstaat.
Enam tipe
organisasi oleh Gerry Stoker ,yaitu:
1.
Tipe pertama adalah organ yang bersifat central government’s arm’s length agency;
2.
Tipe kedua, organ yang merupakan local authority implementation agency;
3.
Tipe ketiga, organ atau institusi
sebagai public/private partnership organitation;
4.
Tipe keempat,organ sebagai user-organitation;
5.
Tipe kelima,organ merupakan intergovernmental forum;
6.
Tipe keenam, organ yang merupakan Joint Boards.
Menurut Gerry Stoker,
“both central and local government have encouraged experimentation with
non-elected forms of government as a way encouraging the greater involvement of
major private corporate sector companies, banks and building societies in
dealing with problems of urban and economic decline.”
Di tingkat pusat atau nasional, di berbagai negara di
dunia dewasa ini tumbuh cukup banyak variasi bentuk-bentuk organ atau
kelembagaan negara atau pemerintahan yang deconcentrated
dan decentralized. R. Rhodes,
dalam bukunya, menyebut hal ini intermediate
institusions.Menurut R.Rhodes, lembaga-lembaga seperti ini mempunyai tiga
peran utama.
1.
Pertama, lembaga-lembaga tersebut
mengelola tugas yang diberikan pemerintah pusat dengan mengkoordinasikan
kegiatan-kegiatan berbagai lembaga lain (coordinate the activities of the
various other agencies). Misalnya , Regional Departement of the Environment
Offices melaksanakan program housing investment dan mengkoordinasikan berbagai
usaha real-estate diwilayahnya.
2.
Kedua, melakukan pemantauan (monitoring)
dan memfasilitasi pelaksanaan berbagai kebijakan atau policies pemerintah
pusat.
3.
Ketiga, mewakili kepentingan daerah
dalam berhadapan dengan pusat.
Sebenarnya,
secara sederhana, istilah organ negara atau lembaga negara dapat dibedakan dari
perkataan organ atau lembaga swasta, lembaga masyarakat, atau yang biasa
disebut Ornop atau Organisasi Non pemerintah yang dalam bahasa Inggris disebut
Non-Government Organization atau Non-Government Organizations (NGO’s). Oleh
sebab itu, lembaga negara itu dapat berada dalam ranah legislatif, eksekutif,
yudikatif, ataupun yang bersifat campuran.
Konsepsi
tentang lembaga negara ini dalam bahasa Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia hal
itu identik dengan lembaga negara, badan negara, atau disebut juga dengan organ
negara. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI 1997), kata “lembaga” diartikan sebagai (i) asal mula atau
bakal (yang akan menjadi sesuatu); (ii) bentuk asli (rupa,wujud); (iii)
acuan,ikatan; (iv) badan atau organisasi yang bertujuan melakukan penyelidikan
keilmuan atau melakukan suatu usaha; dan (v) pola prilaku yang mapan yang
terdiri atas interaksi sosial yang terstruktur.
Lembaga
negara terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan, lembaga
pemerintahaan non-departemen, atau lembaga negara saja. Ada yang dibentuk
berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada pula yang dibentuk dan
mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki atau ranking kedudukannya tentu saja
tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Lembaga
negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ konstitusi, sedangkan
yang dibentuk berdasarkan U, sementara yang hanya dibentuk karena keputusan
presiden tentunya lebih rendah lagi tingkatan dan derajat perlakuan hukum
terhadap pejabat yang duduk didalamnya. Demikian pula jika lembaga dimaksud
dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah
lagi tingkatannya.
Karena
warisan sistem lama, harus diakui bahwa di tengah masyarakat kita masih
berkembang pemahaman yang luas bahwa pengertian lembaga negara dikaitkan dengan
cabang-cabang kekuasaan tradisional legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Lembaga negara dikaitkan dengan pengertian lembaga yang berada di ranah
kekuasaan legislatif disebut lembaga legislatif, yang berada di ranah eksekutif
disebut lembaga pemerintah, dan yang berada di ranah judikatif disebut sebagai
lembaga pengadilan.
Karena
itu, sebelum perubahan UUD 1945, biasa dikenal adanya istilah lembaga
pemerintah, lembaga departemen, lembaga pemerintah non-departemen, lembaga negara,
lembaga tinggi negara, dan lembaga tertinggi negara. Dalam hukum tata negara
biasa dipakai pula istilah yang menunjuk kepada pengertian yang lebih terbatas,
yaitu alat perlengkapan negara yang biasanya dikaitkan dengan cabang-cabang
kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Dalam
ilmu hukum, subjek hukum (legal subject) adalah setiap pembawa atau penyandang
hak dan kewajiban dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum. Pembawa hak
dan kewajiban itu dapat merupakan orang yang biasa disebut juga natuurlijke
persoon (menselijk persoon) atau bukan orang yang biasa disebut pula dengan
rechtspersoon. Rechtspersoon itulah yang biasa dikenal sebagai badan hukum yang
merupakan pesona ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai pesona (orang fiktif).
Mahkamah
Agung Belanda dalam putusannya tanggal 16 Februari 1891 (W.6083) menyatakan
bahwa penghinaan dalam hukum pidana tidak mungkin kecuali hanya terhadap
manusia (natuurlijke persoon). Akan
tetapi, menurut Paul Scholten, dalam bidang keperdataan, penghunaan dapat saja
terjadi oleh dan terhadap badan hukum yang berakibat penghinaan itu, badan
hukum yang bersangkutan dapat digugat per-data.
Di
samping semua uraian tersebut di atas, yang juga penting dikemukakan ialah
bahwa setiap badan hukum yang dapat dikatakan mampu bertanggung-jawab
(rechtsbevoegheid) secara hukum, haruslah memiliki empat unsur pokok, yaitu:
1) Harta
kekayaan yang terpisah dari kekayaan subyek hukum yang lain;
2) Mempunyai
tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan;
3) Mempunyai
kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;
4) Ada
organisasi kepengurusannya yang bersifat teratur menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan peraturan internalnya sendiri.
Unsur
kekayaan yang terpisah dan tersendiri dari pemilikan subyek hukum lain,
merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu badan untuk disebut sebagai badan
hukum (legal entity) yang berdiri
sendiri. Unsur kekayaan yang tersendiri itu merupakan persyaratan penting bagi
badan hukum yang bersangkutan (i) sebagai alat baginya untuk mengejar tujuan
pendirian atau pembentukannya. Kekayaan tersendiri yang memiliki badan hukum
itu ; (ii) dapat menjadi objek tuntutan dan sekaligus menjadi; (iii) objek
jaminan bagi siapa saja atau pihak-pihak lain dalam mengadakan hubungan hukum
dengan badan hukum yang bersangkutan.
Dengan
adanya unsur keterpisahan harta ini, maka siapa saja yang menjadi pendiri dan
pengurus badan hukum serta pihak-pihak lain yang berhubungan dengan badan hukum
yang bersangkutan, haruslah benar-benar memisahkan antara unsur pribadi beserta
hak milik pribadi, dengan institusi dan harta kekayaan badan hukum yang
bersangkutan. Karena itu, perbuatan hukum
pribadi orang yang menjadi anggota atau pengurus badan hukum itu dengan pihak ketiga tidak
mempunyai akibat hukum terhadap harta kekayaan badan hukum yang sudah terpisah
tersebut. Menurut Arifin Soeria Atmadja, kekayaan badan hukum yang terpisah
itu, membawa akibat antara lain:
a.
Kreditur pribadi para anggota badan
hukum yang bersangkutan tidak mempunyai hak untuk menuntut harta kekayaan badan
hukum tersebut;
b.
Para anggota pribadi tidak dapat menagih
piutang badan hukum terhadap pihak ketiga;
c.
Kompensasi antara hutang pribadi dan
hutang badan hukum tidak dimungkinkan;
d.
Hubungan hukum, baik persetujuan maupun
proses antara anggota dan badan hukum,dilakukan seperti halnya antara badan
hukum dengan pihak ketiga;
e.
Pada kepalitan, hanya para kreditur
badan hukum dapat menuntut harta kekayaan yang terpisah.
Organisasi
yang baik dan teratur biasanya selalu menjadikan anggaran dasar sebagai
konstitusi, anggaran rumah tangga, dan peraturan-peraturan keorganisasian
lainnya serta kode etika yang berlaku secara internal sebagai pegangan atau
rujukan dalam setiap kegiatan keorganisasian. Jika timbul permasalahan, perbedaan
pendapat, atau perselisihan antar pengurus atau anggota, di dalam berbagai
peraturan tersebut sudah diatur adanya
mekanisme penyelesaian yang dapat dijadikan rujukan. Dengan demikian, perbedaan
pendapat tidak perlu menyebabkan
timbulnya perpecahan organisasi yang tidak dapat diselesaikan secara damai dan
bermartabat sesuai dengan perangkat norma hukum dan etika (rule of law ataupun rule of
ethics) yang berlaku.
Dalam Kitab Undang-Undang Perdata,
kriteria suatu lembaga atau organisasi dapat dikatakan sebagai badan hukum atau
bukan, tidaklah dirinci diatur. Titel XIX Pasal 1653 Burgerlijk
Wetboek hanya menyebut van Zedelijke
lichaam atau rechtspersoon yang
dalam bahasa indonesia biasa diterjemahkan dengan perkumpulan. Menurut Arifin
Soeria Atmaja, terjemahan zedelijke
lichaam dengan perkumpulan itu adalah keliru, karena menurut Fockema
Andreas, zedelijke lichaam itu
identik dengan rechtspersoon.
Dalam
pasal 1653 Burgerlijk Wetboek dinyatakan, “ Behalve de eigenlijke maatschap
erkent de wet ook vereenigingen van personen als zedelijke lichamen het zij
dezelve op openbaar gezag als zoodaniniginge-steld of ekend, het zij als
geoorlofd zijn toe gelaten, of aleen tot een bepaalde oog merk, niet strijdig
met de wetten of met de goede zeden, zijn zamengesteld”.
Secara bebas, ketentuan pasal 1653 B.W. tersebut dapat diterjemahkan, “selain
perseroan sejati, oleh undang-undang dikenal pula perkumpulan-perkumpulan
orang-orang sebagai badan hukum, baik karena didirikan atau diakui oleh
pemerintah sebagai pemegang otoritas publik maupun karena telah diterima adanya
atau karena telah berdiri untuk maksud-maksud tertentu yang tidak bertentangan
dengan undang-undang atau kesusilaan yang
baik”.
Berdasarkan
ketentuan tersebut di atas, maka dari
segi pembentukannya, oleh Arifin P. Soeria Atmadja, dikemukakan adanya tiga
jenis badan hukum, yaitu:
1. Badan
hukum yang diadakan atau didirikan oleh pemerintah;
2. Badan
hukum yang diakui oleh pemerintah; dan
3. Badan
hukum dengan konstruksi perdata.
Lembaga
Tinggi Negara
1)
Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR)
diatur dalam Bab III UUD 1945 yang juga diberi judul “Majelis Permusyawaratan
Rakyat”. Bab III ini berisi dua pasal, yaitu Pasal 2 yang terdiri atas tiga
ayat, Pasal 3 yang juga terdiri atas 3 ayat;
2)
Presiden yang diatur keberadaannya dalam
Bab III UUD 1945, dimulai dari ayat 4 (1) dalam pengaturan mengenai Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berisi 17 Pasal;
3)
Wakil Presiden yang keberadaannya juga
diatur dalam Pasal 4 yaitu pada ayat (2) UUD 1945 itu menegaskan, “Dalam melakukan
kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”;
4)
Menteri dan Kementerian Negara yang
diatur tersendiri dalam Bab V 1945, yaitu pada pasal 17 ayat (1), (2), dan (3);
5)
Menteri Luar Negeri sebagai menteri triumvirat yang dimaksud oleh Pasal 8
ayat (3) UUD 1945, yaitu bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Pertahanan sebagai pelaksana tugas kepresidenan apabila terdapat kekosongan
dalam waktu yang bersamaan dalam jabatan Presiden dan wakil presiden;
6)
Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat bersama-sama dengan Menteri
Luar Negeri dan Menteri Pertahanan menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945;
7) Menteri
Pertahanan yang bersama-sama dengan Menteri Luar Negeri dan Menteri Dalam
Negeri ditentukan sebagai menteri triumvirat
menurut Pasal 8 ayat (3) UUD 1945. Ketiganya perlu disebut secara sendiri
sendiri, karena dapat saja terjadi konflik atau sengketa kewenangan
konstitusional diantara sesama mereka, atau antara mereka dengan menteri lain
atau lembaga negara lain;
8) Dewan
Pertimbangan Presiden yang diatur dalam Pasal 16 Bab III tentang Kekuasaan
Pemerintahan Negara yang berbunyi, “Presiden
membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang”;
9) Duta
seperti diatur dalam Pasal 13 ayat (1) dan (2);
10) Konsul
seperti yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1);
11) Pemerintah
Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud
oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat (7) UUD 1945;
12) Gebenur
Kepala Pemerintah Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD 1945;
13) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 1945;
14) Pemerintah
Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5),(6) dan
ayat (7) UUD 1945;
15) Bupati
Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten seperti yan g diatur dalam Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945;
16) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (3)
UUD 1945;
17) Pemerintah
Daerah Kota sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18 ayat (2), (3), (5), (6) dan ayat
(7) UUD 1945;
18) Walikota
Kepala Pemerintah Daerah Kota seperti yang diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
1945;
19) Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Kota seperti yang diatur oleh Pasal 18 ayat (3) UUD
1945;
20) Satuan
Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa seperti dimaksud oleh
Pasal 18B ayat (1) UUD 1945, diatur dengan undang-undang. Karena kedudukannya
yang khusus dan diistimewakan, satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus
atau istimewa diatur tersendiri oleh UUD 1945. Misalnya, status Pemerintahan
Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintahan Daerah Otonomi Khusus Nangro Aceh
Darussalam dan Papua, serta Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Ketentuan mengenai kekhususan atau keistimewaannya itu diatur oleh
undang-undang. Oleh karena itu pemerintahan daerah yang demikian ini perlu
disebut secara tersendiri sebagai lembaga atau organ yang keberadaannya diakui
dan dihormati oleh negara.
21) Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 yang berisi Pasal 19
sampai dengan Pasal 22B;
22) Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang diatur dalam Bab VIIA yang terdiri atas Pasal 22C
dan Pasal 22D;
23) Komisi
Penyelenggaraan Pelimu yang diatur dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 yang
menentukan bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Nama “Komisi Pemilihan Umum” bukanlah
nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh Undang-Undang;
24) Bank
Sentral yang disebut eksplisit oleh Pasal 23D, yaitu “Negara memiliki suatu
bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan
independensinya diatur dengan undang-undang”. Seperti halnya dengan Komisi
Pemilihan Umum, UUD 1945 belum menentukan nama bank sentral yang dimaksud.
Memang benar, nama bank sentral sekarang adalah Bank Indonesia. Tetapi, nama
Bank Indonesia bukan nama yang ditentukan oleh UUD 1945, melainkan oleh
undang-undang berdasarkan kenyataan yang diwarisi oleh sejarah dimasa lalu.
25) Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diatur tersendiri dalam Bab VIIIA dengan judul
“Badan Pemeriksa Keuangan”, dan terdiri atas 3 Pasal, yaitu Pasal 23E (3 ayat),
Pasal 23F (2 ayat), dan Pasal 23G (2 ayat);
26) Mahkamah
Agung (MA) yang keberadaannya diatur dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal 24A UUD
1945;
27) Mahkamah
Konstitusi (MK) yang juga diatur keberadaannya dalam Bab IX, Pasal 24 dan Pasal
24C UUD 1945;
28) Komisi
Yudisial yang juga diatur dalam Bab IX, Pasal 24B UUD 1945 sebagai auxiliary organ terhadap Mahkamah Agung yang diatur dalam
Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945;
29) Tentara
Nasional Indonesia (TNI) diatur tersendiri dalam UUD 1945, yaitu dalam Bab XII
tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, pada Pasal 30 UUD 1945;
30) Angkatan
Darat (TNI AD) diatur dalam pasal 10 UUD 1945;
31) Angkatan
Laut (TNI AL) diatur dalam pasal 10 UUD 1945;
32) Angkatan
Udara (TNI AU) diatur dalam pasal 10 UUD 1945;
33) Kepolisian
Negara Republik Indonesia (POLRI) yang juga diatur dalam Bab XII Pasal 30 UUD
1945;
34) Badan-badan
lain yang fungsinya terkait dengan kehakiman seperti kejaksaan diatur dalam
undang-undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 yang
berbunyi “ Badan-badan lain yang
fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Namun, untuk memudahkan
pengertian, organ-organ konstruksi pada lapisan pertama dapat disebut sebagai
lembaga tinggi negara, yaitu:
1.
Presiden dan Wakil Presiden;
2.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR);
3.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD);
4.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR);
5.
Mahkamah Konstitusi (MK);
6.
Mahkamah Agung (MA);
7.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Lembaga-lembaga negara
sebagai organ konstruksi lapisan kedua itu adalah:
1. Menteri
Negara;
2. Tentara
Nasional Negara;
3. Kepolisian
Negara;
4. Komisi
Yudisial;
5. Komisi
Pemilihan Umum;
6. Bank
Sentral.
Lembaga-lembaga daerah
adalah:
1.
Pemerintah Daerah Provinsi;
2.
Gubernur;
3.
DPRD Provinsi;
4.
Pemerintahan Daerah Kabupaten;
5.
Bupati;
6.
DPRD Kabupaten;
7.
Pemerintahan Daerah Kota;
8.
Walikota;
9.
DPRD Kota.
Lembaga
Konstitusional Lainnya
Sebelum Perubahan UUD 1945 , Bab V tentang Kementerian
Negara berisi Pasal 17 yang hanya terdiri atas tiga ayat, yaitu bahwa :
1.
“Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara”;
2.
“Menteri-menteri diangkat dan
diperhentikan oleh Presiden”, dan
3.
“
Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintah”.
Sesudah
perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999 dan perubahan ketiga pada tahun 200,
isi ketentuan pasal 17 ini bertambah pada menjadi empat ayat, yaitu bahwa:
1. “Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara”,
2. “Menteri-menteri
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”,
3. “Setiap
menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan”,dan
4. “Pembentukan,
pengubahan, dan pembubaran kementrian negara diatur dalam undang-undang”.
Dalam Pasal 38 UU No.
22 tahun 2004, ditentukan :
1) Komisi
Yudisial bertanggung jawab kepada publik melaui Dewan Perwakilan Rakyat;
2) Pertanggungjawaban
kepada publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara:
a. Menerbitkan
laporan tahunan; dan
b. Membuka
akses informasi secara lengkap dan akurat.
3) Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf
a setidaknya memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Laporan
penggunaan anggaran;
b. Data
yang berkaitan dengan fungsi pengawasan; dan
c. Data
yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen Hakim Agung.
4) Laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan pula pada presiden.
5) Keuangan
Komisi Yudisial diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan UU.
Menurut
ketentuan Bab III Pasal 13 UU No.22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mempunyai wewenang:
a. Mengusulkan
pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan
b. Menegakkan
kehormatan dan keluruhan martabat serta menjaga prilaku hakim.
Selanjutnya
, ditentukan oleh Pasal 14 UU No.22 Tahun 2004 tersebut, dalam melaksanakan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisial mempunyai
tugas:
1) Melakukan
pendaftaran calon Hakim Agung;
2) Melakukan
seleksi terhadap calon Hakim Agung;
3) Menetapkan
calon Hakim Agung; dan
4) Mengajukan
calon Hakim Agung ke DPR.
Sesuai
ketentuan Pasal 2 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI tersebu, Tentara Nasional
Indonesia adalah:
a) Tentara
Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia;
b) Tentara
Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam melaksanakan dan menyelesaikan
tugasnya;
c) Tentara
Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan
negara diatas kepentingan daerah, suku, ras, dan golongan agama;
d) Tentara
Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik,
tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi.
Menurut
ketentuan undang-undang yang baru ini, pengeban fungsi kepolisian adalah Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang sama sekali terpisah dari fungsi Tentara
Nasional Indoonesia (TNI). Polisi sebagai pengemban fungsi kepolisian dibantu
oleh:
a. Kepolisian
khusus,
b. Penyidik
pegawai negeri sipil, dan/atau
c. Bentuk-bentuk
pengamanan swakarsa.
Pengemban fungsi kepolisian dimaksud melaksanakan
fungsi kepolisian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
hukumnya masing-masing.
Dalam
rangka menyelenggarakan tugas dimaksud, Kepolisian Negara Rebuklik Indonesia
secara umum dinyatakan berwenang:
a. Menerima
laporan dan/atau pengaduan;
b. Membantu
menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban
umum;
c. Mencegah
dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi
aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa;
e. Mengeluarkan
peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian;
f. Melaksanakan
pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan;
g. Melakukan
tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil
sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i.
Mencari keterangan dan barang bukti;
j.
Menyelenggarakan Pusat Informasi
Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan
surat ijin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan
masyarakat;
l.
Memberikan bantuan pengamanan dalam
sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi lain, serta
kegiatan masyarakat;
m. Menerima
dan menyimpan barang temuan untuk mentara waktu.
Menurut
Pasal 15 undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban:
1. Memberikan
perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun
memberikan keterangan mengenai tenjadinya tindak pidana korupsi;
2. Memberikan
informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk
memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana
korupsi yang ditanganinya;
3. Menyusun
laporan tahunan dan menyampaikannnya kepada Presiden Republik Indonesia, dan
Badan Pemeriksa Keuangan;
4. Menegakkan
sumpah jabatan;
5. Menjalankan
tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana
dimaksud dalam pasal 5.
Mengenai
syarat-syarat untuk dapat menjadi anggota KPU, KPU provinsi, dan KPU
kabupaten/kota, seperti diatur dalam Pasal 18, adalah:
1. Warga
negara Republik Indonesia;
2. Setia
kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;
3. Mempunyai
integritas pribadi yang kuat, jujur, dan adil;
4. Mempunyai
komitmen dan dedikasi terhadap suksesnya Pemilu, tegaknya demokrasi dan
keadilan;
5. Memiliki
pengetahuan yang memadai tentang sistem kepartaian, sistem dan proses
pelaksanaan Pemilu, sistem perwakilan rakyat, serta memiliki kemampuan
kepemimpinan;
6. Berhak
memilih dan dipilih;
7. Berdomisili
dan wilayah Republik Indonesia yang dibuktikan dengan KTP;
8. Sehat
jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari
rumah sakit;
9. Tidak
menjadi anggota atau pengurus partai politik;
10. Tidak
pernah dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih;
11. Tidak
sedang menduduki jabatan politik, jabatan struktural, dan jabatan fungsional
dalam jabatan negeri;
12. Bersedia
bekerja sepenuh waktu.
Dalam
Pasal 25 UU pemilu ditentukan bahwa tugas dan wewenang KPU adalah:
1. Merencanakan
penyelenggaraan Pemilihan Umum;
2. Menetapkan
organisasi dan tata cara semua tahapan pelaksanaan Pemilu;
3. Mengkoordinasikan,
menyelenggarakan, dan mengendalikan semua taha[pan pelaksanaan Pemilu;
4. Menetapkan
Peserta Pemilu;
5. Menetapkan
daerah pemilihan, jumlah kursi dan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/ kota;
6. Menetapkan
waktu, tanggal, tata cara pelaksanaan kampanye, dan pemungutan suara;
7. Menetapkan
hasil Pemilu dan mengumumkan calonterpilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD Kabupaten/ kota;
8. Melakukan
evaluasi dan pelaporan pelaksanaan Pemilu;
9. Melaksanaan
tugas dan kewenangan lain yang diatur undang-undang.
Menurut ketentuan Pasal
26, Komisi Pemilihan Umum berkewajiban:
1.
Memperlakukan peserta pemilu secara adil
dan setara guna menyukseskan Pemilu;
2. Menetapkan
standardisasi serta kebutuhan barang dan jasa yang berkaitan dengan
penyelenggaraan Pemilu;
3. Memelihara
arsip dan dokumen Pemilu serta mengelola barang investaris KPU berdasarkan
peraturan perundang-undangan;
4. Menyampaikan
informasi kegiatan kepada masyarakat;
5. Melaporkan
penyelenggaraan Pemilu kepada Presiden selambat-lambatnya tujuh hari sesudah
pengucapan sumpah/ janji anggota DPR dan DPD;
6. Mempertanggungjawabkan
penggunaan anggaran yang diterima dari APBN; dan
7. Melaksanakan
kewajiban lain yang diatur
undang-undang.
Lembaga
Negara Lainnya
Di samping lembaga-lembaga negara seperti telah diuraikan
tersebut di atas, ada pula beberapa lembaga negara lain yang dibentuk
berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan yang lebih rendah, seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Keputusan Presiden. Beberapa di
antaranya adalah:
1.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
2.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
3.
Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi (KKR),
4.
Komisi perlindungan Anak Indonesia ,
5.
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
(BPSP),
6.
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK),
7.
Komisi Banding Paten,
8.
Komisi Banding Merek,
9.
Komisi perlindungan Anak Indonesia,
10.
Komisi Nasional Anti Kekerasn terhadap
Perempuan,
11.
Dewan Pertahanan Nasional,
12.
BP Migas dan BHP Migas,
13.
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI), dan sebagainya.
Lembaga-Lembaga
Daerah
Di samping lembaga-lembaga tinggi negara dan
lembaga-lembaga negara lainnyaa di tingkat pusat, ada pula beberapa lembaga
daerah yang dapat pula disebut sebagai lembaga negara dalam arti luas.
Lembaga-lembaga seperti Gubernur dan DPRD bukanlah lembaga masyarakat, tetapi
merupakan lembaga negara. Bahkan, keberadaannya ditentukan dengan tegas dalam
UUD 1945. Oleh karena itu, tidak dapat tidak, Gubernur dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah itu termasuk ke dalam pengertian lembaga negara dalam arti luas.
Namun, karena tempat kedudukannya adalah di daerah, dan merupakan bagian dari
sistem pemerintahan daerah, maka lembaga-lembaga negara seperti Gubernur dab
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu lebih tepat disebut sebagai lembaga daerah.
Keberadaan lembaga-lembaga daerah tersebut diatur dengan
beberapa kemungkinan bentuk peraturan, yaitu:
1. Lembaga
Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di
atur dalam Undang-Undang Dasar.
2. Lembaga
Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Undang-Undang dasar.
3. Lembaga
Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam peraturan
perundang-undangan tingkat pusat lainnya.
4. Lembaga
Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Daerah Provinsi.
5. Lembaga
Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Gubernur.
6. Lembaga
Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/
Kota.
7. Lembaga
Daerah yang dibentuk berdasarkan atau di atur dalam Peraturan Bupati/ Walikota.
Mengenai
tugas dan wewenang kepala daerah dan wakil kepala daerah, ditentukan oleh Pasal
25 UU No. 32 Tahun 2004 sebagai berikut.
a. Memimpin
penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan
bersama DPRD;
b. Mengajukan
rancangan Perda;
c. Menetapkan
Perda yang telah mendapat persetujuan bersama DPRD;
d. Menyusun
dan mengajukan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD untuk dibahas dan
ditetapkan bersama;
e. Mengupayakan
terlaksananya kewajiban daerah;
f. Mewakili
daerahnya di dalam dan di luar pengadilan, dan dapat menunjukan kuasa hukum
untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan
g. Melaksanakan
tugas dan wewenang lain sesuia dengan peraturan perundang-undangan.
Sedangkan
tugas wakil kepala daerah adalah.
a. Membantu
kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah;
b. Membantu
kepala daerah dalam mengkoordinasikan kegiatan instansi vertikal di daerah,
menindaklanjuti laporan dan/ atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan,
melaksanakan pemberdayaan perempuan dan pemuda, serta mengupayakan pengembangan
dan pelestarian sosial budaya dan lingkungan hidup;
c. Memantau
dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan kabupaten dan kota bagi wakil
kepala daerah provinsi;
d. Memantau
dan mengevaluasi penyelenggaraan pemerintahan di wilayah kecamatan, kelurahan
dan/ atau desa bagi wakil kepala daerah kebupaten/ kota;
e. Memberikan
saran dan pertimbang kepada kepala daerah dalam penyelenggaran kegiatan
pemerintah daerah;
f. Melaksanakan
tugas dan kewajiban pemerintahan lainnya tyang diberikan oleh kepala daerah;
dan
g. Melakukan
tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah berhalangan.
Reformasi
dan Konsolidasi
Sebelum
tahun 1998, secara simbolis ada dua hal yang tidak terbayangkan untuk dapat
disentuh oleh ide perubahan, yaitu:
a.
Perubahan dalam jabatan Presiden
Soeharto, dan
b.
Perubahan terhadap Undang-Undang Dasar
1945 yang cenderung dikeramatkan.
Kedua
hal itu, selama lebih dari 30 tahun terus bertahan di puncak piramid kekuasaan,
sehingga tanpa disadari telah mengalami proses sekralisasi alamiah, dan
menyebabkan kedua menjadi simbol kesaktian dalam politik kekuasaan di
Indonesia. Namun pada bulan Mei 1998, puncak kesaktian kekuasaan Presiden
Soeharto tumbang, dan dilanjutkan dengan diterima dan disahkannya Perubahan
Pertama UUD 1945 pada tanggal 18 Oktober 1999 yang menandai runtuhnya kedua
simbol kesaktian kekuasaan Orde Baru, dan sekaligus beralihnya zaman menuju era
baru, era reformasi, demokrasi, dan konstitusi. Reformasi menuju demokrasi
konstitusional (constitutional democracy)
dan sekaligus negara hukum yang demokratis berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Oleh
karena itu, kata kunci (key word)
yang dapat dimajukan dalam hal ini adalah konsolidasi dan penataan kelembagaan
secatra menyeluruh. Bandngkanlah peta kondisi kelembagaan negara dan
kelembagaan pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di daerah-daerah; baik
yang lama maupun yang baru; baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan;
pada aspek perencanaan, pelaksanaan, ataupun pengawasan, pemantauan dan
evaluasi. Periksalah kondisi internalnya masing-masing baik yang menyangkut
sumber dayan manusia (personil), kondisi keuangan dan dan aset atau kekayaan
negara yang dikelola, sistem aturan yang berlaku di dalamnya serta
perangkat-perangkat sistem administrasi yang dijalankan, lalu dibandingkan
tugas pokok dan fungsinya dengan hasil kerja dan kinerjanya dalam kenyataan,
serta perhitungkan nilai kegunaannya untuk kepentingan bangsa dan negara
membandingkannya dengan nilai dari segala perangkat yang dimilikinya itu
seperti jumlah personil, nilai keuangan dan kekayaan negara yang dikelola, dan
sebagainya. Lalu bandingkan pula antara satu lembaga dengan lembaga lain yang
sejenis yang boleh jadi juga didesain untuk maksud yang sama atau mirip dengan
lembaga yang bersangkutan.
·
Pembahasan
Terdapat
tiga fungsi kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun
politik, yaitu fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif. Ketiga fungsi kekuasaan
negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya
boleh menjalankan satu fungsi, dan tidak boleh saling mencampuri urusan
masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika demikian, maka kebebasan akan
terancam.
Ke-34
organ tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu dari segi fungsinya dan
segi hirarkinya. Hirarki antarlembaga negara penting untuk ditentukan karena
harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki
jabatan dalam lembaga negara itu. Mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih
rendah perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara dan
besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu, ada dua
kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hirarki bentuk sumber normatif
yang menentukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat utama
atau penunjang dalam sistem kekuasaan negara.
Sehubungan
dengan hal itu, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke-34 lembaga
tersebut, ada yang bersifat utama atau primer, dan ada pula yang bersifat
sekunder atau penunjang (auxiliary). Sedangkan dari segi hirarkinya , ke-34
lembaga itu dapat dibedakan ke dalam
tiga lapis. Organ lapis pertama dapat disebut sebagai lembaga tinggi negara.
Organ lapis kedua disebut sebagai lembaga negara saja, sedangkan organ lapis
ketiga merupakan lembaga daerah. Di antara lembaga-lembaga tersebut ada yang
dapat diketegorikan sebagai organ utama
atau primer (primary constitutional organs), dan ada pula yang merupakan organ
pendukung atau penunjang (auxiliary state organs).
Keseluruhan
lembaga-lembaga negara tersebut merupakan bagian-bagian dari negara sebagai
suatu organisasi. Konsekuensinya, masing-masing menjalanan fungsi tertentu dan
saling berhubungan sehingga memerlukan pengaturan dan pemahaman yang tepat
untuk benar-benar berjalan sebagai suatu sistem.
BAB
III
Kesimpulan
Hal ini sangat
penting mengingat dengan munculnya berbagai lembaga baru dalam sistem
ketatanegaraan kita pasca perubahan UUD 1945, maka pengertian yang selama ini
kita kenal dan kita anut harus direvisi. Pengertian baru dan kategorisasi
lembaga negara pasca perubahan UUD 1945 ini merupakan hal baru sama sekali yang
mengubah pandangan dan pemikiran yang selamaini dianut selama berpuluh-puluh
tahun.
Demikian pula gagasan baru ini berbeda sama
sekali dengan hukum tata negara yang selama ini diajarkan di sekolah dan kampus
dan dianut kalangan akademisi dan pakar hukum tata negara. Karena itu boleh
jadi akan muncul banyak tanggapan, baik kritik maupun dukungan, juga berkembang
kontroversi dan polemik di ranah publik, khususnya dalam bidang hukum tata
negara.
Namun hal ini saya anggap sangat penting untuk merespon
perkembangan ketatanegaraan kita yang tergolong radikal ini. Harapan kita
adalah dapat bergulir wacana baru dalam hukum tata negara sesuai kondisi
objektif yang ada sekaligus menjadi sumbangsih untuk mendinamisasi perkembangan
hukum tata negara yang selama era sebelumnya tidak berkembang. Dengan demikian
diharapkan hukum tata negara dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan
ketatanegaraan yang ada sehingga hukum tata negara tidak nampak ketinggalan
zaman.
Daftar
Pustaka
Asshiddiqie,
Jimly, Perkembangan dan Konsolidasi
Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI , Jakarta, 2006.